Kamis, 10 Desember 2015

OBAT



      Pekan ini merupakan tujuh hari paling penuh cerita sepanjang aku menjalani ketujuh hari itu setidaknya hingga usiaku yang belum genap dua puluh dua ini. Aku dihampiri dua orang teman lamaku dengan "oleh-oleh" yang mereka bawakan untukku. Aku dan mereka memang jarang bertemu, jadi wajar kalau mereka membawakan sesuatu untukku. Oleh-oleh itu berwujud masalah.
      Teman pertama datang dengan "oleh-olehnya". Duduk di ruang tamu rumahku, kusuguhi ia segelas air putih. Ia mulai bercerita dengan sungguh-sungguh. Bahwa katanya ia baru saja bertengkar hebat dengan ibunya. Penyebabnya, ibunya dirasa terlalu mengekang temanku itu. Apapun pilihan temanku selalu bertolak belakang dengan keinginan ibunya. Yang paling membuat temanku itu risau adalah pada pertengkaran kali ini ibunya menangis sejadi-jadinya di hadapan temanku itu. Berharap anaknya mendengarkan apa kata ibunya. Selesai bercerita, ganti temanku yang hujan airmata di hadapanku.
      Dua hari kemudian, salah seorang teman masa sekolah menengahku datang berkunjung. Berfirasat bahwa ia akan "hujan airmata" juga, aku membawanya ke spot lain di rumahku. Rooftop. Setelah menggelarinya tikar lengkap dengan Teddy Bear-ku dan bantal-bantal agar suasananya nyaman, kemudian ia mulai bercerita. Kusajikan sesajen berupa setoples biskuit dan beberapa cokelat sekedar untuk berjaga-jaga, juga segelas air putih tentunya. Tidak ada preambule atau mukadimah, langsung saja ia menangis padaku sembari berkeluh kesah. Adalah bahwa kekasihnya sudah lama berselingkuh dengan teman kerja dari temanku itu. Aku mengerti kesedihannya, karena yang kutahu hubungan temanku dan mantan kekasihnya itu sudah sangat serius. Bahuku menjadi sandaran tangisnya. Sementara aku mencoba terlihat kuat dengan menyembunyikan rapuhku dalam diam. Kutelanjangi bungkus cokelat dan kuberikan isinya pada temanku agar ia memakannya. Agar ia tenang.
       Aku pun bermasalah, tapi aku tak harus menceritakannya kan? Lagipula bukankah kita semua punya masalah?
       Siapa yang tidak pedih hatinya melihat ibunda tercinta, yang sudah kita susahkan bahkan sejak di dalam kandungannya menangis karena ulah kita, anaknya? Siapa yang tidak luka hatinya melihat seseorang yang sudah diyakini adalah "belahan jiwa", pergi begitu saja? Jujur, aku tidak bisa memberikan solusi kepada kedua temanku itu. Aku hanya menenangkan mereka dan mengembalikan lagi semuanya kepada pemilik masalah masing-masing. Aku rasa wajar sekali kalau ada salah paham anatara anak dan orangtua. Orangtua kan hanya ingin yang terbaik untuk anak-anaknya. Kita pun sebagai anak tidak sepenuhnya bersalah, karena bagaimana kita begitulah hasil didikan orangtua. Tapi teman, semestinya kita sadar bahwa kekhawatiran orangtua pada pilihan kita bukan tanpa sebab. Orangtua kita sudah lebih lama hidup dibandingkan kita. Sudah banyak bahagia dan luka yang mereka rasakan. Dan asal kau tahu saja, jika ada satu pesan yang tak tersampaikan lewat amarahnya, pesan itu pasti: "Mereka ingin kita tidak terluka seperti mereka. Terluka lebih parah tepatnya."
      Juga tentang temanku dan mantan kekasihnya itu. Seburuk-buruknya sesuatu, pasti masih ada sedikit kebaikan di dalamnya. Lumrah saja kalau sakit hati, wajar saja kalau terluka. Tapi sebaiknya jangan kita lahirkan rasa dendam di hati kita. Betul memang bahwa masa lalu meninggalkan sakit sebagai "kenang-kenangan", tapi siapa bilang ia hanya meninggalkan itu untuk kita (seseorang yang disakiti). Dibalik itu semua, ia juga mewariskan kekuatan untuk kita menjadi lebih kuat. Secara tidak sengaja ia mengajari kita rumus untuk kuat menghadapi luka, dan ujian yang diberikan (kehilangan dirinya) semata-mata hanya untuk membuat kita lulus dan naik kelas. Kalau kita berhasil, kita akan semakin matang dan kuat karena ulahnya. Tapi coba lihat dia, sedang bersusah payah memulai cerita dengan seseorang yang (mungkin) 'mentah' belum diuji, dan meninggalkan kita yang secara emosionalnya semakin matang dan kuat karena kehilangannya. Jadi, siapa yang rugi sebenarnya?
      Tidak ada yang salah dan kebetulan tentang apa yang terjadi pada diri kita, apapun yang terjadi di semesta ini. Segala sesuatu ada kebaikannya. Segala sakit pasti ada obatnya. Biarkan segala luka menguatkan kita, kemudian ijinkan bahagia menghampiri kita. Karena waktu dan doa adalah penyembuh semua luka. Tetaplah kita semua setia di jalur kebaikan.


Andai semua anak tahu, surga akan menjauh darinya saat hati sang ibunda terluka karenanya..
Andai siapapun yang melakukan perselingkuhan (menyakiti hati orang lain) menyadari bahwa karma selalu berlaku...
Andai semua orang menyadari bahwa rasa bersalah selalu datang sesaat setelah dusta dilakukan...
Andai semua orang yang terlalu mencintai mengerti, bahwa apapun yang dicintainya hanyalah titipan dan bisa lenyap kapan saja bahkan ditengah helaan nafasnya...
Andai saja..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar