To : Partner
Fr : Seseorang yang sering kau sebut "peramal"
Hai, Partner. Lama kita tidak jumpa dan sapa di dunia maya. Entah bagaimana kabar rupa dan hatimu disana, aku harap semuanya baik-baik saja. Setelah waktu-waktu yang terasa lama, aku memutuskan untuk menuliskan seisi kepala yang penuh dengan kata-kata. Kali ini tentangmu, Partner.
Tentang pertemuan kita di sebuah "rumah maya", aku mensyukurinya. Itu sama sekali bukan sebuah kebetulan. Ada sebuah benang merah yang terlihat, lalu kita terkoneksi karenanya. Akrab, menjadi alur kesudahannya.
Tak cepat dan tak lambat kita semakin terbuka berbagi canda dan tawa. Cacat dan rahasia. Luka dan beban di dada lainnya. Seperti sahabat yang telah saling mengenal sejak lama, kita saling bercerita dan mendengarkan satu sama lain. Berusaha seimbang. Tanpa sengaja menjadi lebih akrab hingga ide itu terlontar dari kepala.
Kita sama-sama suka menulis. Karena itu dengan nada bercanda suatu saat kamu memberi usul agar kita punya karya bersama. Mengingat keberadaanmu yang sangat jauh dari kota dimana aku berada sekarang, aku ragu pada awalnya. Pun komunikasi kita terbatas hanya lewat telepon dan media sosial saja. Tapi pikiranku berubah saat membaca aura semangat menulismu. Berbekal sebuah ide, kita memulai proyek menulis itu.
Proyek menulis jarak jauh itu memompa adrenalinku. Melahirkan plot-plot secara spontan dengan berbekal beberapa riset, ini menarik buatku. Aku menikmatinya. Entah bagaimana kamu. Aku menebak kamu sedikit tertekan, mengingat kita menulis tentang kisah cintamu. Setidaknya itu bagian yang cukup rumit.
Aku lupa bagaimana tepatnya saat kamu memutuskan untuk membuat jarak dan ... menghentikan proyek menulis itu. Kita terhenti di bab 9. Nasib tokoh kita terkatung-katung. Aku sedikit bersedih, tapi tidak cukup mampu menunjukkannya padamu.
Hal terakhir yang mengakrabkan kita adalah saat kamu menitipkan manuskrip awal cerita itu padaku. Aku menerimanya. Kamu bilang cerita itu sudah tepat di tanganku. Aku cukup linglung, tapi aku masih punya cukup kelapangan hati untuk menerima tanggung jawab darimu.
Bukannya aku tidak pernah menyadari masalah berat yang menimpamu. Menjadi kamu pasti tidak mudah. Kamu butuh lebih dari sekedar pesan yang menenangkan. Sementara aku yang berada ratusan kilometer darimu hanya sanggup mendoakan.
Pada akhirnya jarak itu semakin nyata. Kamu menghilang dari radar. Tidak apa-apa. Mungkin memang sudah seharusnya.Saat waktu yang menginginkan, segala yang ia mau akan diminta dari kita. Hubungan termasuk salah satunya.
Berbulan lewat dan aku masih disini. Di ruang berwarna biru muda berukuran 2 x 3 ini aku tengan berupaya membesarkan keempat tokoh kita seorang diri. Aku belum tahu kapan tepatnya mereka akan tumbuh dewasa dan layak dibaca. Semampuku akan kubesarkan mereka dengan baik. Meskipun kabar tak lagi saling tahu, tapi aku tetap butuh doa darimu.
Semoga keakraban menyapa kita lagi suatu hari nanti.
Entah kabar baik atau buruk, tapi aku mau memberitahumu sesuatu. Semoga tidak menghadirkan sakit di kepalamu.
Nama lengkap Saga adalah ...
AriSaga Naru.
A.
Senin, 24 Oktober 2016
Jumat, 29 Juli 2016
Teruntuk Mereka Yang Konsisten Membesarkan Anak-Anak Abjadnya Hingga Menjadi Sebuah Kalimat Yang Dewasa :)
Aku Sebagai Kata
Kepada penyair,
Benihku menggeliat gairah
Satu dua detak jantung penuh rasa di dada
Kau pinjamkan padaku yang hanya abjad
Mengusahakan sebuah hidup
Berjudi pada hidup
Bersegera lahir sebagai kalimat
Merapal doa dalam diam kulakukan
Mengundang keajaiban jadi tujuan
Menjadi alasan kau bahagia jadi impian
Aku sebagai kata
Berhutang hidup pada sebuah raga
Pada sebuah nama
Engkau.
Bandar Lampung, 28 Februari 2016
Minggu, 17 Juli 2016
Pertanda.
Aku merasakan sesak yang amat sangat di dada. Jari-jariku gemetar, ada dorongan ingin menangis sekuatnya. Perasaan ini semacam pertanda, seperti sebelumnya. Setelah ini pasti akan terjadi sesuatu, entah baik dan buruk. Aku belum siap. Aku belum sepenuhnya pulih. Aku belum sanggup menghadapi kejutan lagi.
Dugaan mulai menghampiri. Aku merasa ini akan jadi puncak dari seluruh perasaanku padamu. Ini akan jadi jawaban apakah selama ini rinduku benar, apakah selama ini cara mencintaiku benar, dan apakah doa-doa baik yang selama ini kupanjatkan akan bermuara pada kenyataan. Aku takut setengah mati. Rasanya seperti menunggu vonis.
Ri-ku, tolong aku.
Dugaan mulai menghampiri. Aku merasa ini akan jadi puncak dari seluruh perasaanku padamu. Ini akan jadi jawaban apakah selama ini rinduku benar, apakah selama ini cara mencintaiku benar, dan apakah doa-doa baik yang selama ini kupanjatkan akan bermuara pada kenyataan. Aku takut setengah mati. Rasanya seperti menunggu vonis.
Ri-ku, tolong aku.
Minggu, 31 Januari 2016
Kita dan Kopi Pagi
Kita dan Kopi Pagi
Oleh
Anisa K. Putri
Aku tidak sedang ingin mengobrol
tentang topik yang berat saat ini. Tapi aku ingin sekali bercakap-cakap dengan
kalian. Menertawai sesuatu bersama-sama, melihat gurat tawa itu tergaris di
wajah cerah kalian. Aku suka setiap kali kita mengobrol dengan aroma diskusi. Atmosfer
yang sangat kusuka. Ringan tapi selalu ada pencerahan yang lahir dengan
sukacita.
Ada
suatu pagi dimana aku sebenarnya tidak ingin buru-buru melewatinya. Pagi itu
seperti biasa kami sekeluarga (aku, ibuku, kakak perempuanku dan adik laki-lakiku)
bangun subuh, sesuai keperluan masing-masing. Ibuku terbangun pukul 3 pagi
karena ingin tahajud kemudian setelahnya memfokuskan tubuhnya di wilayahnya
yang bernama dapur. Kakak perempuanku terbangun pukul empat tepat, seperti
kebiasaannya. Sementara aku dan adikku berbarengan terbangun pukul empat lebih
empat puluh lima menit. Semua sibuk masing-masing menuju rutinitas, namun
sesuatu terjadi.
Sudah menjadi kebiasaan bagi kami
bertiga (aku, ibuku dan kakak perempuanku) setiap pagi, membuat kopi sesuai
selera masing-masing. Tapi apa yang entah direncanakan si pemilik takdir pagi
itu. Mungkin ibuku sedang banyak pikiran, kakak perempuanku dihinggapi beban
tugasnya sebagai guru di sekolah tempatnya mengajar, atau mungkin aku yang
sedang... memikirkan seseorang. Aku meninggalkan gelas kopi-ku di dapur, itu
karena aku bergegas pergi untuk mandi. Kakak perempuanku meninggalkan gelas
kopi miliknya di meja makan, itu karena ia sedang menyiapkan kertas-kertas
nilai milik murid-muridnya. Sementara
ibuku sedang mengaduk kopi miliknya.
Selesai merapihkan diri, aku
menjumpai sarapanku. Sementara aku menikmati sarapan pagi penuh karbo, aku
melihat kakak perempuanku melintas menggenggam gelas berisi kopi. Aku tidak bertanya.
Kulanjutkan sarapanku.
Semua kusadari begitu aku mencari
gelas kopiku. Ia hilang! Aku menginterogasi ibuku, bertanya keberadaan gelas
kopiku. Ibuku menggeleng. Kucecar adik laki-lakiku, ia nyaris melempar sendok
makannya ke arahku disebabkan aku mencecarnya dengan setengah berteriak. Aku
menghambur ke arah kakak perempuanku. Dan begitu saja kutemukan ia (gelas
kopiku) tengah digenggam mesra jemari kakak perempuanku. Aliran kopi melaju
deras ke tenggorokannya. Aku tersenyum, kakak perempuanku bingung.
“Mpok, itu kopiku. Masa gak hafal
harumnya.” Kataku masih tersenyum.
Kakak
perempuanku menepuk keningnya.
“Ya Allah.. pantesan. Udah agak
dingin. Kok kamu gak bilang ini kopi kamu?” kata kakak perempuanku dengan nada
sedikit menyesal.
“Kok Mpok gak sadar kopinya udah gak
panas lagi? Kok gak hafal rasa kopi sendiri?”aku mencecarnya dengan pertanyaan
beruntun.
Kakak
perempuanku memasang wajah cemberut.
“Yaudah jadi gimana ini? Kamu bikin
kopi aja lagi gih..” katanya lagi.
“Halah repot, yaudah pagi ini aku
minum kopi rasa kopimu dulu.” Kataku sambil menahan tawa.
“Lagian tumben banget sih pagi ini
gelasnya sama semua. Bikin bingung aja. Sori ya, Sa.” Kakak perempuanku meneguk
kopi “rasaku” sampai habis.
Ya, aku juga baru menyadari kalau
pagi itu gelas kopi kami bertiga sama. Aku tidak menggunakan gelas kopi
favoritku, begitu juga kakak perempuanku itu. Ibuku beruntung tidak sempat “teracuni”
kopi milikku yang kental luar biasa. Kopi milik ibu manis, kopi milik kakak
perempuanku pahit namun tidak lebih kental dari kopi-ku. Sementara adik
laki-lakiku masih menggilai teh.
Pagi itu kami luput dari aroma kopi
masing-masing. Pagi itu serempak konsentrasi alpa dari kepala kami. Pagi itu
ingin kuingat selalu. Karena kopi kami tertukar, tapi cinta kami tidak pernah “tertukar”
apalagi salah takar. Justru semakin besar.
Kulihat ibu dan adik laki-lakiku
masih menertawai kelucuan kami pagi itu.
Kembali Seimbang
Kembali Seimbang
Oleh
Anisa K. Putri
Aku tidak menemukan pembukaan yang tepat untuk
tulisanku kali ini. Hanya saja muncul sekelumit tanya yang mengganggu, saat
pembicaraan menjurus pada keinginanku untuk memiliki kendaraan beroda dua yang
bernama motor. Mula-mula pembicaraan ini terasa santai. Sesekali aku melempar
pertanyaan pada lawan bicara di depanku. Sederhana saja pertanyaannya seperti:
apa dengan sejumlah uang yang minim (kusebutkan sejumlah nominal), aku sudah
bisa memiliki kendaraaan beroda dua itu. Pertanyaan lagi seperti bagaimana cara
merawat kendaraan yang baik, kemungkinan-kemungkinan terburuk apa yang akan
kutemui jika aku lebih memilih kendaraan roda dua tipe “bebek” atau jika
pilihanku jatuh pada tipe “matic”. Sebetulnya ini mungkin sedikit memalukan,
mengingat seharusnya aku sudah paham mengenai apa-apa saja mengenai kendaraan
satu itu. Kenyataannya aku masuk kategori makhluk yang “ketinggalan zaman”.
Sebenarnya aku pernah belajar
mengenai dunia “permotoran” ini. Aku sudah pernah melewati masa-masa jatuh
bangun dan terguling-guling saat pertama kali mencicipi rasanya mengendarai
motor. Dan sampai pada sebuah kejadian dimana aku menghancurkan motor kakak
laki-lakiku secara tidak sengaja karena belum mahirnya aku mengendarai si roda
dua bermesin itu lewat sebuah kecelakaan. Masih jelas teringat raut wajah kakak
laki-lakiku yang dinaungi amarah saat itu. Aku sendiri sibuk menangis dan
menahan sakit karena beberapa luka sobek di lutut dan siku tangan. Sejak saat
itu, bagiku mengendarai motor rasanya seperti hendak bunuh diri.
Tapi situasinya sudah lain sekarang.
Ada sesuatu yang mengharuskan aku untuk memiliki kendaraan roda dua bermesin
itu. Meskipun aku sudah memiliki kendaraan beroda dua favoritku yaitu sepeda,
lagi-lagi keharusan selalu berhasil menyingkirkan apa yang sudah ada. Alhasil,
aku membawa luka masa laluku kesini, ke masa ini. Aku harus menaklukan trauma
dan rasa takutku di masa lalu. Aku harus kembali belajar untuk seimbang. Apapun
yang terjadi di masa lalu, masa kini mengharuskanku untuk berada di posisi
seimbang. Aku mungkin akan kembali terjatuh, tapi aku akan lebih kuat sekarang
karena sakit yang akan kualami nanti (jika aku tidak menjaga keseimbanganku)
hanya pengulangan rasa sakitku di masa lalu.
Jadi, kalau ada seseorang yang
bertanya padaku dari mana awal mula lahirnya ‘kekuatan’, aku sudah punya
jawaban. Rasa kuat datang dari rasa sakit yang berulang-ulang.
Langganan:
Postingan (Atom)