Kita dan Kopi Pagi
Oleh
Anisa K. Putri
Aku tidak sedang ingin mengobrol
tentang topik yang berat saat ini. Tapi aku ingin sekali bercakap-cakap dengan
kalian. Menertawai sesuatu bersama-sama, melihat gurat tawa itu tergaris di
wajah cerah kalian. Aku suka setiap kali kita mengobrol dengan aroma diskusi. Atmosfer
yang sangat kusuka. Ringan tapi selalu ada pencerahan yang lahir dengan
sukacita.
Ada
suatu pagi dimana aku sebenarnya tidak ingin buru-buru melewatinya. Pagi itu
seperti biasa kami sekeluarga (aku, ibuku, kakak perempuanku dan adik laki-lakiku)
bangun subuh, sesuai keperluan masing-masing. Ibuku terbangun pukul 3 pagi
karena ingin tahajud kemudian setelahnya memfokuskan tubuhnya di wilayahnya
yang bernama dapur. Kakak perempuanku terbangun pukul empat tepat, seperti
kebiasaannya. Sementara aku dan adikku berbarengan terbangun pukul empat lebih
empat puluh lima menit. Semua sibuk masing-masing menuju rutinitas, namun
sesuatu terjadi.
Sudah menjadi kebiasaan bagi kami
bertiga (aku, ibuku dan kakak perempuanku) setiap pagi, membuat kopi sesuai
selera masing-masing. Tapi apa yang entah direncanakan si pemilik takdir pagi
itu. Mungkin ibuku sedang banyak pikiran, kakak perempuanku dihinggapi beban
tugasnya sebagai guru di sekolah tempatnya mengajar, atau mungkin aku yang
sedang... memikirkan seseorang. Aku meninggalkan gelas kopi-ku di dapur, itu
karena aku bergegas pergi untuk mandi. Kakak perempuanku meninggalkan gelas
kopi miliknya di meja makan, itu karena ia sedang menyiapkan kertas-kertas
nilai milik murid-muridnya. Sementara
ibuku sedang mengaduk kopi miliknya.
Selesai merapihkan diri, aku
menjumpai sarapanku. Sementara aku menikmati sarapan pagi penuh karbo, aku
melihat kakak perempuanku melintas menggenggam gelas berisi kopi. Aku tidak bertanya.
Kulanjutkan sarapanku.
Semua kusadari begitu aku mencari
gelas kopiku. Ia hilang! Aku menginterogasi ibuku, bertanya keberadaan gelas
kopiku. Ibuku menggeleng. Kucecar adik laki-lakiku, ia nyaris melempar sendok
makannya ke arahku disebabkan aku mencecarnya dengan setengah berteriak. Aku
menghambur ke arah kakak perempuanku. Dan begitu saja kutemukan ia (gelas
kopiku) tengah digenggam mesra jemari kakak perempuanku. Aliran kopi melaju
deras ke tenggorokannya. Aku tersenyum, kakak perempuanku bingung.
“Mpok, itu kopiku. Masa gak hafal
harumnya.” Kataku masih tersenyum.
Kakak
perempuanku menepuk keningnya.
“Ya Allah.. pantesan. Udah agak
dingin. Kok kamu gak bilang ini kopi kamu?” kata kakak perempuanku dengan nada
sedikit menyesal.
“Kok Mpok gak sadar kopinya udah gak
panas lagi? Kok gak hafal rasa kopi sendiri?”aku mencecarnya dengan pertanyaan
beruntun.
Kakak
perempuanku memasang wajah cemberut.
“Yaudah jadi gimana ini? Kamu bikin
kopi aja lagi gih..” katanya lagi.
“Halah repot, yaudah pagi ini aku
minum kopi rasa kopimu dulu.” Kataku sambil menahan tawa.
“Lagian tumben banget sih pagi ini
gelasnya sama semua. Bikin bingung aja. Sori ya, Sa.” Kakak perempuanku meneguk
kopi “rasaku” sampai habis.
Ya, aku juga baru menyadari kalau
pagi itu gelas kopi kami bertiga sama. Aku tidak menggunakan gelas kopi
favoritku, begitu juga kakak perempuanku itu. Ibuku beruntung tidak sempat “teracuni”
kopi milikku yang kental luar biasa. Kopi milik ibu manis, kopi milik kakak
perempuanku pahit namun tidak lebih kental dari kopi-ku. Sementara adik
laki-lakiku masih menggilai teh.
Pagi itu kami luput dari aroma kopi
masing-masing. Pagi itu serempak konsentrasi alpa dari kepala kami. Pagi itu
ingin kuingat selalu. Karena kopi kami tertukar, tapi cinta kami tidak pernah “tertukar”
apalagi salah takar. Justru semakin besar.
Kulihat ibu dan adik laki-lakiku
masih menertawai kelucuan kami pagi itu.