Minggu, 31 Januari 2016

Kita dan Kopi Pagi



Kita dan Kopi Pagi
Oleh Anisa K. Putri

            Aku tidak sedang ingin mengobrol tentang topik yang berat saat ini. Tapi aku ingin sekali bercakap-cakap dengan kalian. Menertawai sesuatu bersama-sama, melihat gurat tawa itu tergaris di wajah cerah kalian. Aku suka setiap kali kita mengobrol dengan aroma diskusi. Atmosfer yang sangat kusuka. Ringan tapi selalu ada pencerahan yang lahir dengan sukacita.
            Ada suatu pagi dimana aku sebenarnya tidak ingin buru-buru melewatinya. Pagi itu seperti biasa kami sekeluarga (aku, ibuku, kakak perempuanku dan adik laki-lakiku) bangun subuh, sesuai keperluan masing-masing. Ibuku terbangun pukul 3 pagi karena ingin tahajud kemudian setelahnya memfokuskan tubuhnya di wilayahnya yang bernama dapur. Kakak perempuanku terbangun pukul empat tepat, seperti kebiasaannya. Sementara aku dan adikku berbarengan terbangun pukul empat lebih empat puluh lima menit. Semua sibuk masing-masing menuju rutinitas, namun sesuatu terjadi.
            Sudah menjadi kebiasaan bagi kami bertiga (aku, ibuku dan kakak perempuanku) setiap pagi, membuat kopi sesuai selera masing-masing. Tapi apa yang entah direncanakan si pemilik takdir pagi itu. Mungkin ibuku sedang banyak pikiran, kakak perempuanku dihinggapi beban tugasnya sebagai guru di sekolah tempatnya mengajar, atau mungkin aku yang sedang... memikirkan seseorang. Aku meninggalkan gelas kopi-ku di dapur, itu karena aku bergegas pergi untuk mandi. Kakak perempuanku meninggalkan gelas kopi miliknya di meja makan, itu karena ia sedang menyiapkan kertas-kertas nilai milik murid-muridnya.  Sementara ibuku sedang mengaduk kopi miliknya.
            Selesai merapihkan diri, aku menjumpai sarapanku. Sementara aku menikmati sarapan pagi penuh karbo, aku melihat kakak perempuanku melintas menggenggam gelas berisi kopi. Aku tidak bertanya. Kulanjutkan sarapanku.
            Semua kusadari begitu aku mencari gelas kopiku. Ia hilang! Aku menginterogasi ibuku, bertanya keberadaan gelas kopiku. Ibuku menggeleng. Kucecar adik laki-lakiku, ia nyaris melempar sendok makannya ke arahku disebabkan aku mencecarnya dengan setengah berteriak. Aku menghambur ke arah kakak perempuanku. Dan begitu saja kutemukan ia (gelas kopiku) tengah digenggam mesra jemari kakak perempuanku. Aliran kopi melaju deras ke tenggorokannya. Aku tersenyum, kakak perempuanku bingung.
            “Mpok, itu kopiku. Masa gak hafal harumnya.” Kataku masih tersenyum.
Kakak perempuanku menepuk keningnya.
            “Ya Allah.. pantesan. Udah agak dingin. Kok kamu gak bilang ini kopi kamu?” kata kakak perempuanku dengan nada sedikit menyesal.
            “Kok Mpok gak sadar kopinya udah gak panas lagi? Kok gak hafal rasa kopi sendiri?”aku mencecarnya dengan pertanyaan beruntun.
Kakak perempuanku memasang wajah cemberut.
            “Yaudah jadi gimana ini? Kamu bikin kopi aja lagi gih..” katanya lagi.
            “Halah repot, yaudah pagi ini aku minum kopi rasa kopimu dulu.” Kataku sambil menahan tawa.
            “Lagian tumben banget sih pagi ini gelasnya sama semua. Bikin bingung aja. Sori ya, Sa.” Kakak perempuanku meneguk kopi “rasaku” sampai habis.
            Ya, aku juga baru menyadari kalau pagi itu gelas kopi kami bertiga sama. Aku tidak menggunakan gelas kopi favoritku, begitu juga kakak perempuanku itu. Ibuku beruntung tidak sempat “teracuni” kopi milikku yang kental luar biasa. Kopi milik ibu manis, kopi milik kakak perempuanku pahit namun tidak lebih kental dari kopi-ku. Sementara adik laki-lakiku masih menggilai teh.
            Pagi itu kami luput dari aroma kopi masing-masing. Pagi itu serempak konsentrasi alpa dari kepala kami. Pagi itu ingin kuingat selalu. Karena kopi kami tertukar, tapi cinta kami tidak pernah “tertukar” apalagi salah takar. Justru semakin besar.
            Kulihat ibu dan adik laki-lakiku masih menertawai kelucuan kami pagi itu.
           

Kembali Seimbang



Kembali Seimbang
Oleh Anisa K. Putri

           
            Aku tidak menemukan pembukaan yang tepat untuk tulisanku kali ini. Hanya saja muncul sekelumit tanya yang mengganggu, saat pembicaraan menjurus pada keinginanku untuk memiliki kendaraan beroda dua yang bernama motor. Mula-mula pembicaraan ini terasa santai. Sesekali aku melempar pertanyaan pada lawan bicara di depanku. Sederhana saja pertanyaannya seperti: apa dengan sejumlah uang yang minim (kusebutkan sejumlah nominal), aku sudah bisa memiliki kendaraaan beroda dua itu. Pertanyaan lagi seperti bagaimana cara merawat kendaraan yang baik, kemungkinan-kemungkinan terburuk apa yang akan kutemui jika aku lebih memilih kendaraan roda dua tipe “bebek” atau jika pilihanku jatuh pada tipe “matic”. Sebetulnya ini mungkin sedikit memalukan, mengingat seharusnya aku sudah paham mengenai apa-apa saja mengenai kendaraan satu itu. Kenyataannya aku masuk kategori makhluk yang “ketinggalan zaman”.
            Sebenarnya aku pernah belajar mengenai dunia “permotoran” ini. Aku sudah pernah melewati masa-masa jatuh bangun dan terguling-guling saat pertama kali mencicipi rasanya mengendarai motor. Dan sampai pada sebuah kejadian dimana aku menghancurkan motor kakak laki-lakiku secara tidak sengaja karena belum mahirnya aku mengendarai si roda dua bermesin itu lewat sebuah kecelakaan. Masih jelas teringat raut wajah kakak laki-lakiku yang dinaungi amarah saat itu. Aku sendiri sibuk menangis dan menahan sakit karena beberapa luka sobek di lutut dan siku tangan. Sejak saat itu, bagiku mengendarai motor rasanya seperti hendak bunuh diri.
            Tapi situasinya sudah lain sekarang. Ada sesuatu yang mengharuskan aku untuk memiliki kendaraan roda dua bermesin itu. Meskipun aku sudah memiliki kendaraan beroda dua favoritku yaitu sepeda, lagi-lagi keharusan selalu berhasil menyingkirkan apa yang sudah ada. Alhasil, aku membawa luka masa laluku kesini, ke masa ini. Aku harus menaklukan trauma dan rasa takutku di masa lalu. Aku harus kembali belajar untuk seimbang. Apapun yang terjadi di masa lalu, masa kini mengharuskanku untuk berada di posisi seimbang. Aku mungkin akan kembali terjatuh, tapi aku akan lebih kuat sekarang karena sakit yang akan kualami nanti (jika aku tidak menjaga keseimbanganku) hanya pengulangan rasa sakitku di masa lalu.
            Jadi, kalau ada seseorang yang bertanya padaku dari mana awal mula lahirnya ‘kekuatan’, aku sudah punya jawaban. Rasa kuat datang dari rasa sakit yang berulang-ulang.